Social Icons

Sabtu, 02 November 2013

Masjid Besar Ainul Yaqin Sunan Giri

Masjid ini berlokasi di Desa Giri, Kec. Kebomas, Kab. Gresik. Tempat bersejarah ini mudah dijangkau dengan kendaraan karena berada tidak jauh dari pusat Kota Gresik; di sebalah utara terdapat pasar dan kawasan industri, sedang di sisi timur terdapat alun-alun dan makam Sunan Gresik, atau Syekh Maulana Malik Ibrahim. Masjid ini di kelilingi perumahan penduduk dan makam. Makam Sunan Giri sendiri berada di sebelah selatan masjid dalam satu kompleks bangunan tersendiri. Posisi masjid ini berada di Bukit Giri, sehingga untuk mencapainya harus menaiki kurang lebih 105 anak tangga.

Sunan Giri dan Sejarah Awal Berdirinya Masjid

Masjid bersejarah ini tidak bisa dilepaskan dari sosok Sunan Giri. Sunan Giri dikenal juga dengan nama Raden Paku, Joko Samudro, Sultan Abdul Faqih, dan Prabu Satmata.
Kemasyhuran Sunan Giri tidak saja dilatarbelakangi oleh ketokohan beliau dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa bersama dengan delapan wali yang lain yang begitu lekat dalam kesadaran masyakat Muslim Indonesia, namun juga dilatari kepeloporan beliau dalam memimpin kerajaan Giri Kedaton.
Sunan Giri terlahir di Blambangan (Banyuwangi) pada tahun Saka Candra Sengkala “Jalmo orek werdaning ratu” (1365 Saka). Ia terlahir dari pasangan Maulana Ishaq, seorang muballigh dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembayu, penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Kerajaan Mapajapit. Namun kelahirannya tidak dikehendaki masyarakat Blambangan hingga kemudian bayi ini dihanyutkan ke laut pada sebuah peti. Peti bayi tersebut diketemukan oleh para pelaut dan diserahkan kepada  Nyai Gede Pinatih, seorang saudagar perempuan pemilik kapal di wilayah Gresik. Ia pun diangkat anak oleh Nyai Pinatih, dan pada umur 12 tahun dititipkan pada Sunan Ampel di daerah Ampel bersama dengan Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang). Setelah sekian lama menetap di Ampel, Joko Samudro dan Makhdum Ibrahim dikirim ke Pasai untuk mendalami Islam dari Maulana Ishaq, yang tidak lain, merupakan ayah kandungnya sendiri.
Setelah berguru selama tiga tahun, Maulana Ishaq menitahkan anaknya, Joko Samudro, untuk kembali ke tanah Jawa guna mengembangkan ajaran agama Islam. Dengan berbekal segumpal tanah yang diberikan oleh ayahanya sebagai contoh tempat yang diinginkannya, Raden ‘Ainul Yaqin berkelana untuk mencari keberadaan tanah yang sama dengan tanah yang diberikan ayahanya. Dengan bertafakkur dan meminta pertolongan serta petunjuk dari Allah SWT, Joko Samudro menemukan tanah yang sama dengan tanah yang diberikan Maulana Ishaq. Tanah tersebut berada di perbuktian di wilayah Gresik. Perbukitan itulah yang kemudian ditempati untuk mendirikan sebuah pesantren Giri.
Di perbukitan ini Raden ‘Ainul Yaqin mengajarkan agama Islam kepada masyarakat. Di tempat ini beliau mendirikan pesantren dan sekaligus tempat untuk melaksanakan salat. Tempat salat inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Masjid Besar Ainul Yaqin Sunan Giri. Tidak ada keterangan yang pasti mengenai awal pendirian ini. Dalam literatur sejarah hanya disebutkan, bahwa pendiri Masjid Giri adalah Kanjeng Sunan Giri sendiri pada tahun yang disebutkan dalam candrasengkala yang berbunyi Lawang Gapura Gunaning Ratu. Bangunan ini berdiri di atas sebuah bukit Kedaton Seda Sidomukti, suatu tempat di mana Kanjeng Sunan Giri berdiam dan memimpin Pesantren. Baru pada tahun 1407 S (menurut Candrasengkala berberbunyi Pendito Nepi Akerti Ayu) tempat tersebut secara resmi oleh beliau dijadikan masjid jamik. Dalam buku Masjid Bersejarah dan Ternama di Indonesia juga disebutkan, bahwa pada tahun 1407 Saka atau sekitar tahun 1481 M, mushala yang ditempati tersebut mengalami pemugaran dengan perluasan bangunan dan secara resmi berubah menjadi Masjid Jamik.
Dalam perkembangannya, 10 tahun setelah Sunan Giri wafat, perhatian masyarakat beralih ke makam Sunan Giri. Maka, terjadilah peralihan penduduk. Sebagian besar dari mereka tinggal di Bukit Giri ketimbang di Bukit Kedaton.Melihat situasi ini, tergeraklah hati Nyi Ageng Kabunan (salah satu cucu Sunan Giri yang telah menjanda) untuk memindahkan masjid dari Bukit Kedaton ke Bukit Giri, yang berdekatan dengan makamnya. Pemindahan ini dilakukan pada tahun 964 H. atau sekitar 1557 M. Dan, sejarah pendirian masjid ini terukir dengan bahasa Arab. Tulisan tersebut baru dibuat oleh (Alm) H Ya'kub Rekso Astono tahun 1856 M./1277 H.

Deskripsi dan Aritektur Masjid
Masjid Jamik Sunan Giri merupakan kompleks paling besar diantara masjid-masjid lain di sekitarnya. Masjid ini memiliki Luas lahan tanah 3.000 m2 dengan luas bangunan 1.750 m2. Di kompleks bangunan ini terdapat dua buah pintu gerbang yang terbuat dari beton. Pintu gerbang tersebut mempunyai ukuran panjang 95 cm, lebar 1,5 m dan tinggi 3,5 m. Kompleks masjid sendiri terdiri atas ruang utama, serambi, dan bangunan lainnya. Ruang sebelah kanan adalah ruang tambahan dari ruang utama dan ruang pewastren di sisi sebelah kiri ruang utama. Demikian juga dengan canopy yang memanjang di bagian depan. Masjid ini menggunakan pondasi massif dengan posisi menaik, sedang di bagian bawah depan terdapat tempat wudu yang berada di sisi kiri dan kanan tangga yang menanjak ke serambi masjid.
Masjid ini berbentuk joglo, memiliki tiga atap tumpang. Bagian tengah merupakan atap utama karena membawai ruang utama masjid dan di topang emat soko guru. Atap tumpang tiga ini menggunakan bahan genting, memakai penopang kayu bertuliskan kaligrafi bercorak bintang dan bulatan dengan tulisan “la ilaha illaallah Muhammadur Rasulullah sallalahu ‘alaihi wa sallam” di semua bagiannya. Masing-masing sisi terdapat dua lukisan yang sama, sehingga kesemuanya berjumlah 8 tulisan kaligrafi. Kemucuknya berbentuk teratai dengan bahan logam.
Pintu utama masjid ini berada persis di tengah bangunan utama berwarna hijau dengan hiasan kaligrafi berwarna kuning keemasan, mengelilingi separuh bagian atas pintu, berdaun ganda, dan menggunakan bahan kayu. Motif yang terpampang di daun pintu ini adalah motif flora dengan ukiran berwarna kuning keemasan. Jumlah pintu dengan pola ini berjumlah tiga, dan kesemuanya berada di bagian depan ruang utama masjid. Masing-masing pintu ini berukuran 250 cm x 170 cm. Sedangkan pintu pada bagian dalam adalah pintu kecil, kesemuanya berjumlah tiga, dan berfungsi menghubungkan ruang utama dengan ruang pewastren di sebelah kiri dan ruang tambahan di sebelah kanan.
Sama halnya dengan model pintu, bentuk jendela masjid ini menggunakan model daun ganda, berbahan kayu, berwarna hijau polos tanpa motif dan hiasan. Maing-masing jendela ini dilengkapi dengan jeruji besi, dengan ukuran 155 cm x 193 cm. Jendela ini memiliki bingkai berbahan kayu. Jumlah jendela, dengan ukuran yang sama, di ruang utama ini berjumlah 12 buah, sedangkan di ruang pewastren terdapat 6 buah. Namun jendela pada ruang pewastren ini, dan juga di ruang tambahan, berbeda karena sudah menggunakan bahan kaca. Jendela-jendela ini sering dibiarkan terbuka untuk mengatur pergantian udara di ruang dalam, sehingga tidak memerlukan ventilasi.
Ruang utama masjid ini berbentuk empat persegi dengan ukuran 14,5 M x 18,10 M, dan berbahan lantai keramik. Tembok yang dipakai menggunakan bahan batu dengan pangait, tanpa motif, polos, dengan ukuran ketebalan kurang lebih 40 cm. Sebagian besar dinding ini, bagian dalam maupun bagian luar, sudah dilapisi keramik berwarna, hanya bagian atas saja yang tidak menggunakan keramik.
Berkaitan dengan soko guru, tiang, atau penopang, masjid ini menggunakan soko guru bulat terbuat dari kayu jati yang nampak kokoh. Masing-masing tiang ini memiliki diamter 34 cm, berwarna hijau polos, tanpa motif. Umpaknya menggunakan batu berwana kuning keemasan dengan motif flora. Keseluruhan soko guru pada ruang utama ini berjumlah 16 buah. Masing-masing tiang ini berfungsi menopang atap yang berpola tumpang, dan memiliki kaitan satu dengan lainnya.
Masjdi ini juga dilengkapi dengan dua buah bedug di sisi sebalah kanan, pada bagian serambi, dan ruang takmir atau kesekretariatan di bagian depan halaman masjid. Selain itu, masjid ini juga di kelilingi rumah penduduk di sebalah timur, pemakaman, termasuk pendopo pemakaman Sunan Giri di sisi sebelah kiri. Di ruas jalan menuju makam dan masjid terdapat sejumlah pedagang, mulai pedagang makanan, peci, hingga pakaian.

Untuk melestarikan warisan sejarah ini dibutuhkan kesadaran sejarah dan kesadaran akan benda cagar budaya, karena masjid ini menjadi salah satu saksi perkembangan Islam di Indonesia, khusunya di tanah Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Facebook

https://www.facebook.com/mustofa.acep

Sample Text

Sample Text