Masjid
ini berlokasi di Desa Giri, Kec. Kebomas, Kab. Gresik. Tempat bersejarah ini
mudah dijangkau dengan kendaraan karena berada tidak jauh dari pusat Kota
Gresik; di sebalah utara terdapat pasar dan kawasan industri, sedang di sisi
timur terdapat alun-alun dan makam Sunan Gresik, atau Syekh Maulana Malik
Ibrahim. Masjid ini di kelilingi perumahan penduduk dan makam. Makam Sunan Giri
sendiri berada di sebelah selatan masjid dalam satu kompleks bangunan tersendiri.
Posisi masjid ini berada di Bukit Giri, sehingga untuk mencapainya harus
menaiki kurang lebih 105 anak tangga.
Sunan Giri dan Sejarah Awal Berdirinya Masjid
Masjid bersejarah ini tidak bisa dilepaskan
dari sosok Sunan Giri. Sunan Giri dikenal juga dengan nama Raden Paku, Joko
Samudro, Sultan Abdul Faqih, dan Prabu Satmata.
Kemasyhuran Sunan Giri tidak saja dilatarbelakangi oleh ketokohan beliau dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa bersama dengan delapan wali yang lain yang begitu lekat dalam kesadaran masyakat Muslim Indonesia, namun juga dilatari kepeloporan beliau dalam memimpin kerajaan Giri Kedaton.
Kemasyhuran Sunan Giri tidak saja dilatarbelakangi oleh ketokohan beliau dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa bersama dengan delapan wali yang lain yang begitu lekat dalam kesadaran masyakat Muslim Indonesia, namun juga dilatari kepeloporan beliau dalam memimpin kerajaan Giri Kedaton.
Sunan Giri terlahir di Blambangan (Banyuwangi) pada tahun Saka Candra
Sengkala “Jalmo orek werdaning ratu” (1365 Saka). Ia terlahir dari pasangan
Maulana Ishaq, seorang muballigh dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri
Prabu Menak Sembayu, penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Kerajaan
Mapajapit. Namun
kelahirannya tidak dikehendaki masyarakat Blambangan hingga kemudian bayi ini
dihanyutkan ke laut pada sebuah peti. Peti bayi tersebut diketemukan oleh para
pelaut dan diserahkan kepada Nyai Gede
Pinatih, seorang saudagar perempuan pemilik kapal di wilayah Gresik. Ia pun
diangkat anak oleh Nyai Pinatih, dan pada umur 12 tahun dititipkan pada Sunan
Ampel di daerah Ampel bersama dengan Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang).
Setelah sekian lama menetap di Ampel, Joko Samudro dan Makhdum Ibrahim dikirim
ke Pasai untuk mendalami Islam dari Maulana Ishaq, yang tidak lain, merupakan
ayah kandungnya sendiri.
Setelah berguru selama tiga
tahun, Maulana Ishaq menitahkan anaknya, Joko Samudro, untuk kembali ke tanah
Jawa guna mengembangkan ajaran agama Islam. Dengan berbekal segumpal tanah yang
diberikan oleh ayahanya sebagai contoh tempat yang diinginkannya, Raden ‘Ainul
Yaqin berkelana untuk mencari keberadaan tanah yang sama dengan tanah yang
diberikan ayahanya. Dengan bertafakkur dan meminta pertolongan serta petunjuk
dari Allah SWT, Joko Samudro menemukan tanah yang sama dengan tanah yang
diberikan Maulana Ishaq. Tanah tersebut berada di perbuktian di wilayah Gresik.
Perbukitan itulah yang kemudian ditempati untuk mendirikan sebuah pesantren
Giri.
Di perbukitan ini Raden ‘Ainul
Yaqin mengajarkan agama Islam kepada masyarakat. Di tempat ini beliau
mendirikan pesantren dan sekaligus tempat untuk melaksanakan salat. Tempat
salat inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Masjid Besar Ainul
Yaqin Sunan Giri. Tidak ada keterangan yang pasti mengenai awal pendirian ini.
Dalam literatur sejarah hanya disebutkan, bahwa pendiri Masjid Giri adalah Kanjeng Sunan Giri sendiri pada tahun yang
disebutkan dalam candrasengkala yang berbunyi Lawang Gapura Gunaning
Ratu. Bangunan ini berdiri di atas sebuah bukit Kedaton Seda Sidomukti,
suatu tempat di mana Kanjeng Sunan Giri berdiam dan memimpin Pesantren. Baru
pada tahun 1407 S (menurut Candrasengkala berberbunyi Pendito Nepi
Akerti Ayu) tempat tersebut secara resmi oleh beliau dijadikan masjid
jamik. Dalam buku Masjid Bersejarah
dan Ternama di Indonesia juga disebutkan, bahwa pada tahun 1407 Saka atau
sekitar tahun 1481 M, mushala yang ditempati tersebut mengalami pemugaran
dengan perluasan bangunan dan secara resmi berubah menjadi Masjid Jamik.
Dalam
perkembangannya, 10 tahun setelah Sunan Giri wafat, perhatian masyarakat
beralih ke makam Sunan Giri. Maka, terjadilah peralihan penduduk. Sebagian
besar dari mereka tinggal di Bukit Giri ketimbang di Bukit Kedaton.Melihat
situasi ini, tergeraklah hati Nyi Ageng Kabunan (salah satu cucu Sunan Giri
yang telah menjanda) untuk memindahkan masjid dari Bukit Kedaton ke Bukit Giri,
yang berdekatan dengan makamnya. Pemindahan ini dilakukan pada tahun 964 H.
atau sekitar 1557 M. Dan, sejarah pendirian masjid ini terukir dengan bahasa
Arab. Tulisan tersebut baru dibuat oleh (Alm) H Ya'kub Rekso Astono tahun 1856
M./1277 H.
Deskripsi dan Aritektur Masjid
Masjid Jamik Sunan Giri merupakan kompleks
paling besar diantara masjid-masjid lain di sekitarnya. Masjid ini memiliki
Luas lahan tanah 3.000 m2 dengan luas bangunan 1.750 m2. Di kompleks bangunan ini
terdapat dua buah pintu gerbang yang terbuat dari beton. Pintu gerbang tersebut
mempunyai ukuran panjang 95 cm, lebar 1,5 m dan tinggi 3,5 m. Kompleks masjid sendiri
terdiri atas ruang utama, serambi, dan bangunan lainnya. Ruang sebelah kanan
adalah ruang tambahan dari ruang utama dan ruang pewastren di sisi sebelah kiri
ruang utama. Demikian juga dengan canopy yang memanjang di bagian depan. Masjid
ini menggunakan pondasi massif dengan posisi menaik, sedang di bagian bawah
depan terdapat tempat wudu yang berada di sisi kiri dan kanan tangga yang
menanjak ke serambi masjid.
Masjid ini berbentuk joglo, memiliki tiga
atap tumpang. Bagian tengah merupakan atap utama karena membawai ruang utama
masjid dan di topang emat soko guru. Atap tumpang tiga ini menggunakan bahan
genting, memakai penopang kayu bertuliskan kaligrafi bercorak bintang dan
bulatan dengan tulisan “la ilaha illaallah Muhammadur Rasulullah sallalahu
‘alaihi wa sallam” di semua bagiannya. Masing-masing sisi terdapat dua lukisan
yang sama, sehingga kesemuanya berjumlah 8 tulisan kaligrafi. Kemucuknya
berbentuk teratai dengan bahan logam.
Pintu utama masjid ini berada persis di
tengah bangunan utama berwarna hijau dengan hiasan kaligrafi berwarna kuning
keemasan, mengelilingi separuh bagian atas pintu, berdaun ganda, dan
menggunakan bahan kayu. Motif yang terpampang di daun pintu ini adalah motif
flora dengan ukiran berwarna kuning keemasan. Jumlah pintu dengan pola ini
berjumlah tiga, dan kesemuanya berada di bagian depan ruang utama masjid.
Masing-masing pintu ini berukuran 250 cm x 170 cm. Sedangkan pintu pada bagian
dalam adalah pintu kecil, kesemuanya berjumlah tiga, dan berfungsi
menghubungkan ruang utama dengan ruang pewastren di sebelah kiri dan ruang
tambahan di sebelah kanan.
Sama halnya dengan model pintu, bentuk
jendela masjid ini menggunakan model daun ganda, berbahan kayu, berwarna hijau
polos tanpa motif dan hiasan. Maing-masing jendela ini dilengkapi dengan jeruji
besi, dengan ukuran 155 cm x 193 cm. Jendela ini memiliki bingkai berbahan
kayu. Jumlah jendela, dengan ukuran yang sama, di ruang utama ini berjumlah 12
buah, sedangkan di ruang pewastren terdapat 6 buah. Namun jendela pada ruang
pewastren ini, dan juga di ruang tambahan, berbeda karena sudah menggunakan
bahan kaca. Jendela-jendela ini sering dibiarkan terbuka untuk mengatur
pergantian udara di ruang dalam, sehingga tidak memerlukan ventilasi.
Ruang utama masjid ini berbentuk empat
persegi dengan ukuran 14,5 M x 18,10 M, dan berbahan lantai keramik. Tembok
yang dipakai menggunakan bahan batu dengan pangait, tanpa motif, polos, dengan
ukuran ketebalan kurang lebih 40 cm. Sebagian besar dinding ini, bagian dalam
maupun bagian luar, sudah dilapisi keramik berwarna, hanya bagian atas saja
yang tidak menggunakan keramik.
Berkaitan dengan soko guru, tiang, atau
penopang, masjid ini menggunakan soko guru bulat terbuat dari kayu jati yang
nampak kokoh. Masing-masing tiang ini memiliki diamter 34 cm, berwarna hijau
polos, tanpa motif. Umpaknya menggunakan batu berwana kuning keemasan dengan
motif flora. Keseluruhan soko guru pada ruang utama ini berjumlah 16 buah.
Masing-masing tiang ini berfungsi menopang atap yang berpola tumpang, dan
memiliki kaitan satu dengan lainnya.
Masjdi ini juga dilengkapi dengan dua buah
bedug di sisi sebalah kanan, pada bagian serambi, dan ruang takmir atau
kesekretariatan di bagian depan halaman masjid. Selain itu, masjid ini juga di
kelilingi rumah penduduk di sebalah timur, pemakaman, termasuk pendopo
pemakaman Sunan Giri di sisi sebelah kiri. Di ruas jalan menuju makam dan
masjid terdapat sejumlah pedagang, mulai pedagang makanan, peci, hingga
pakaian.
Untuk melestarikan warisan sejarah ini
dibutuhkan kesadaran sejarah dan kesadaran akan benda cagar budaya, karena
masjid ini menjadi salah satu saksi perkembangan Islam di Indonesia, khusunya
di tanah Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar