Masyarakat Aceh semula
menolak harsat Belanda untuk membangunkan kembali Masjid Baiturrahman yang
hancur dan dibakar kaum kolonial sejak didirikan oleh Sultan Iskandar Muda pada
tahun 1614 M. Penolakan ini terjadi, karena mereka menganggap bahwa masjid itu
semestinya dibangun oleh orang Islam, dan bukan oleh orang non-Muslim atau kaphe.
Karena, dalam kesadaran masyarakat Aceh, mesjid bersejarah ini tidak sekadar dijadikan
tempat melaksanakan ibadah, namun juga dijadikan sebagai benteng pertahanan dan
simbol perjuangan masyarakat Aceh dalam menghadapi agresi kolonial Belanda. Meski
demikian, serahterima tanda selesainya pembangunan masjid tetap dilaksanakan
pada tahun 1881 M yang ditandai dengan penembakan meriam dan diakhiri dengan
pembacaan doa.
Dengan demikian,
masjid ini setidaknya memiliki dua hal
yang menarik, yakni sakralitas yang kental dan nilai historis yang sangat kuat.
Dua faktor inilah yang menjadi magnet utama bagi sejumlah orang, baik luar
maupun dalam negri untuk berkunjung ke bumi Nangro Aceh Darussalam. Tsunami
yang menghantam negri ini beberapa tahun yang lalu menyisakan cerita unik dan
magis tersendiri bagi masjid raya ini, yang pada gilirannya semakin menambah
keyakinan masyarakat Aceh pada masjid raya Baiturrahman. (dari
berbagai sumber)
Religiusitas
Masyarakat Aceh
Menjelang
pelaksanaan salat Jum’at, beberapa mobil patroli polisi syariat (kesemuanya
perempuan) nampak mengelilingi jalan-jalan dan memperingati pemilik atau
pengelola toko-toko di sepanjang jalan yang masih membuka toko dan menjalankan
aktivitas untuk segera menutup toko dan menghentikan semua aktivitas yang ada.
Dengan aturan ini, tepat pada pelaksanaan salat jumat, nyaris tidak dijumpai
kaum pria yang berkeliaran.
Upaya di atas
dilakukan karena Aceh adalah satu-satunya wilayah di Indonesia yang diberikan
otonomi khusus untuk menerapkan syariat Islam. Cara di atas dilakukan sebagai
salah satu komitmen pemerintah provinsi ini dalam memberlakukan syariat Islam
yang menjadi keistimewaan wilayah ini. Terlepas dari kontroversi seputar
pemberlakukan syariat ini, baik dari lembaga internasional seperti Amnesty
Internasional, maupun dari LSM lokal, namun pemberlakukan ini cukup mewarnai
religiusitas masyarakatnya sehingga menciptakan nuansa religius tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar