Social Icons

Selasa, 03 Juli 2012

Nangro Aceh Darussalam



Denys Lombard, seorang penulis sejarah Aceh berkebangsaan Perancis berkesimpulan, “Terbuktilah di sini, arsitektur keagamaan yang orisinil berhasil mengakar, lepas dari segala model barat”. Jejak kolonialisme Belanda cukup terlihat nyata di bumi tanah rencong. Jejak ini setidaknya bisa dilihat dari bangunan-bangunan penting yang berdiri tegak di Aceh, salah satunya adalah Masjid Raya Baiturrahman.
Masyarakat Aceh semula menolak harsat Belanda untuk membangunkan kembali Masjid Baiturrahman yang hancur dan dibakar kaum kolonial sejak didirikan oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1614 M. Penolakan ini terjadi, karena mereka menganggap bahwa masjid itu semestinya dibangun oleh orang Islam, dan bukan oleh orang non-Muslim atau kaphe. Karena, dalam kesadaran masyarakat Aceh, mesjid bersejarah ini tidak sekadar dijadikan tempat melaksanakan ibadah, namun juga dijadikan sebagai benteng pertahanan dan simbol perjuangan masyarakat Aceh dalam menghadapi agresi kolonial Belanda. Meski demikian, serahterima tanda selesainya pembangunan masjid tetap dilaksanakan pada tahun 1881 M yang ditandai dengan penembakan meriam dan diakhiri dengan pembacaan doa.
Dengan demikian, masjid ini setidaknya memiliki  dua hal yang menarik, yakni sakralitas yang kental dan nilai historis yang sangat kuat. Dua faktor inilah yang menjadi magnet utama bagi sejumlah orang, baik luar maupun dalam negri untuk berkunjung ke bumi Nangro Aceh Darussalam. Tsunami yang menghantam negri ini beberapa tahun yang lalu menyisakan cerita unik dan magis tersendiri bagi masjid raya ini, yang pada gilirannya semakin menambah keyakinan masyarakat Aceh pada masjid raya Baiturrahman. (dari berbagai sumber)

Religiusitas Masyarakat Aceh
Menjelang pelaksanaan salat Jum’at, beberapa mobil patroli polisi syariat (kesemuanya perempuan) nampak mengelilingi jalan-jalan dan memperingati pemilik atau pengelola toko-toko di sepanjang jalan yang masih membuka toko dan menjalankan aktivitas untuk segera menutup toko dan menghentikan semua aktivitas yang ada. Dengan aturan ini, tepat pada pelaksanaan salat jumat, nyaris tidak dijumpai kaum pria yang berkeliaran.
Upaya di atas dilakukan karena Aceh adalah satu-satunya wilayah di Indonesia yang diberikan otonomi khusus untuk menerapkan syariat Islam. Cara di atas dilakukan sebagai salah satu komitmen pemerintah provinsi ini dalam memberlakukan syariat Islam yang menjadi keistimewaan wilayah ini. Terlepas dari kontroversi seputar pemberlakukan syariat ini, baik dari lembaga internasional seperti Amnesty Internasional, maupun dari LSM lokal, namun pemberlakukan ini cukup mewarnai religiusitas masyarakatnya sehingga menciptakan nuansa religius tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Facebook

https://www.facebook.com/mustofa.acep

Sample Text

Sample Text