Social Icons

Rabu, 25 Februari 2015

Masjid Saka Tunggal Baitussalam Cikakak Banyumas

Gerbang Masuk Masjid Saka Tunggal
Masjid ini berada di desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Lokasi tempat berdirinya masjid bersejarah ini berjarak kurang lebih 30 km dari Kota Purwokerto sehingga relatif mudah untuk dijangkau, meskipun posisinya agak masuk ke dalam dan berada di dekat wilayah perbukitan dan di kelilingi pepohonan yang cukup lebat.
Yang menarik dari masjid ini bukan saja status masjid yang dikukuhkan sebagai benda cagar budaya yang memiliki nilai sejarah yang cukup penting, namun juga karena keberadaan ratusan monyet yang meyambut setiap orang yang datang ke lokasi ini. Monyet ini tersebar di sekeliling masjid, bertebaran di halaman, bergelantungan di ranting-ranting pohon. Keberadaan monyet yang cukup banyak ini menjadi daya tarik tersendiri bagi sejumlah orang untuk mengunjungi lokasi masjid besejarah ini. Di bagian depan pintu gerbang, terdapat loket retribusi untuk para pengunjung memasuki lokasi. Keberadaan makam keramat yang berada tidak jauh dari masjid ini
menjadi daya tarik lain bagi masyarakat untuk melihat dan mengunjungi masjid ini.

Sejarah dan Fungsi Masjid

Tampak depan samping
Sama halnya dengan Masjid Nur Sulaiman, masjid Saka Tunggal ini juga tercatat sebagai situs benda cagar budaya dengan Nomer 11-02/Bas/51/TB/04 yang dilindungi secara hukum oleh Pemerintahan Kabupaten Banyumas. Masjid bersejarah ini digunakan sehari-hari oleh masyarakat Islam yang dikenal dengan masyarakat Islam Aboge; satu komunitas masyarakat Islam yang memiliki pemahaman dan praktek yang sedikit berbeda dengan masyarakat Islam pada umumnya, di antaranya dalam hal penetapan awal bulan Hijriah, termasuk penetapan awal Ramadan dan awal Syawal, dan sejumlah pelaksanaan tata cara ibadah lainnya. Penamaan Masjid Saka Tunggal digunakan karena masjid ini hanya menggunakan satu tiang utama (saka guru) di ruang utama, tepatnya di bagian tengah.
Sejumlah sumber menyebutkan, bahwa masjid ini berdiri pada tahun 1288. Angka ini mengacu pada angka yang tertulis di Saka Guru (tiang utama) masjid.  Namun, tahun pembuatan masjid ini lebih jelas tertulis pada kitab-kitab yang ditinggalkan pendiri masjid ini, yaitu Kyai Mustolih. Namun kitab-kitab tersebut telah hilang bertahun-tahun yang lalu . Karena itu, sejarah berdirinya masjid saka tunggal ini terkait erat dengan tokoh penyebar Islam di Cikakak, Mbah Mustolih, yang menurut sebagian keterangan hidup pada masa kesultanan Mataram Kuno. Tidak heran bila unsur Kejawen melekat cukup kuat pada unsur masjid dan praktek keagamaan jamaahnya. Dalam syiar Islam yang dilakukan, Mbah Mustolih memang menjadikan Cikakak sebagai markas penyebaran Islam dengan ditandai pembangunan masjid dengan saka tunggal tersebut.
Saka Tunggal 
Selain pelaksanaan jumat, masjid ini juga digunakan untuk melaksanakan salat wajib lainnya. Namun, pelaksanaan jamaah yang terkordinir pada salat-salat ini hanya dilakukan pada salat seperti magrib dan isya. Yang cukup menarik, pelaksanaan jamaah di masjid ini bukan saja pada salat wajib, tapi juga pada pelaksanaan salat qabliyah (sebelum) dan badiyah (sesudah) yang mengiringi salat-salat tersebut. Demikian halnya dengan pelaksanaan salat Jum’at. Salat jumat dilakukan dengan azan yang dikumandangkan oleh empat orang sekaligus, tanpa menggunakan pengeras suara.  Dan, seluruh rangkaian salat, mulai dari tahiyatul masjid, salat jumat, bakdiah jumat, semuanya dilakukan secara berjamaah.

Bangunan dan Arsitektur Masjid

Masjid ini memiliki beberapa ruang, yakni ruang utama yang berbentuk bujur sangkar, ruang pengimaman, ruang mimbar, pewastren di sisi sebelah kiri, serambi di bagian depan, tempat wudlu di muka masjid, dan hamparan halaman yang sebagian dikelilingi jaro bambu. Pondasi yang digunakan adalah pondasi massif. Bahan dinding luar masjid seluruhnya menggunakan batu dengan pengait. Seluruh dinding bagian luar tanpa motif, polos, sementara bagian dalam separuh ke bawah menggunakan keramik bermotif berwarna coklat. Pembatas yang digunakan ruang utama dan pewastern, serta serambi bagian depan adalah anyaman bambu bermotif yang diwarnai coklat. Anyaman bambu ini juga terdapat pada atap di ruang utama dengan motif yang sama.
Motif pada Saka Tunggal
Ruang utama masjid ini hanya memiliki satu saka guru di bagian tengah dengan empat cagak pada bagian atas yang berfungsi menopang atap. Saka guru inilah yang menjadi ikon dan penamaan masjid. Saka guru ini merupakan tiang berukir berbentuk segi empat yang dipenuhi warna-warna cerah seperti merah, putih, hijau, dan kuning, dengan motif flora. Warna dan motif ini memenuhi seluruh tiang, dari bawah hingga pada bagian atas. Saka guru ini memiliki ukuran yang berbeda antara bagian bawah dengan bagian atas. Bagian bawah yang meninggi ke atas, sekitar 250 cm, memiliki ukuran diameter yang lebih besar ketimbang separuh bagian atas sisanya. Bagian bawah tiang ini dilapisi kaca, agar tidak cepat rusak jika sering disentuh. Pada bagian atasnya, terdapat sayap yang terbujur ke empat arah penjuru mata angin. Tiang ini oleh masyarakat setempat memiliki nilai yang sakral sehingga dirawat dengan cukup istimewa. Pada salah satu sisi saka ini terdapat tulisan angka 1288 yang menurut sejumlah sumber menunjukan angka tahun berdirinya masjid.  Selain saka tunggal, pada ruang utama ini terdapat 12 saka emper dengan ukuran diameter kurang lebih 12 cm. Bagian depan dan sisi kiri digunakan untuk pembatas pewastren yang menggunakan bahan anyaman bambu, sedang selebihnya nampak terlihat terbuka.
Ruang pengimaman berada persis di tengah dengan ukuran yang relatif kecil, dan selalu dalam kondisi tertup hordeng (penutup kain), dan hanya dibuka pada pelaksanaan salat, terutama pelaksanaan salat Jum’at. Pada bagian atas pengimaman ini terdapat ukiran bermotif flora dengan warna-warna cerah sebagaimana terdapat pada saka utama. Tepat di bagian atasnya terdapat ukiran kaligrafi terbuat dari kayu dengan tulisan “Asyhadu alla ilaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah”. Pada bagian atasnya lagi, masih dengan bahan yang sama, terdapat kaligrafi ayat kursi, namun dengan bentuk ukiran yang lebih kecil. Di sisi kananya juga terdapat ukiran kaligrafi dengan tulisan ayat Al-Qur’an, tepatnya Surah as-Saff ayat 2-3, sementara di sebelah kirinya juga terdapat tulisan kaligrafi dengan tulisan ayat Al-Qur’an, yakni Surah al-Kahf ayat 103-104. Di sisi kiri dan kanan pengimaman terdapat dua figura yang tergantung miring, dan konon memuat potongan bagian peninggalan kitab pendiri masjid.
Tahun didirikannya masjid
Mimbar di sebelah kanan pengimanan juga berada pada ruang yang tertutup menggunakan hordeng (penutup kain) sebagaimana ruang pengimanan, dan hanya dibuka pada saat tertentu, khususnya pada pelaksanaan salat jum’at. Ruang untuk meletakan mimbar ini ukurannya kurang lebih sama dengan ruang pengimaman, karena mimbar ini juga berukuran relatif kecil. Selain ditutupi kain, bagian muka mimbar pun ditutupi kain putih dengan motif warna warni, sehingga bagian-bagian dalamnya tidak terlihat. Mimbar ini sendiri terbuat dari kayu, yang pada sisi-sisinya menampilkan lukisan-lukisan motif flora sebagaimana terdapat di saka utama, terutama pada bagian atas mimbar, dan di tengahnya terdapat tulisan ‘La ilaha illallah”. Di sebelah kanan terdapat sebilah tongkat berwarna kecoklatan, sebagai pelengkap mimbar.
Di dalam masjid ini juga terdapat bedug dengan kentongan dan tempat meletakan kentongan. Berbeda dengan bedug pada umumnya yang diletakan agak naik (tinggi), sehingga perlu berdiri untuk memukulnya, bedug pada masjid ini diletakkan menggantung dengan posisi yang pendek, sehingga untuk memukulknya tidak perlu berdiri, hanya cukup duduk. Bedug ini dipukul dalam setiap pelakanaan salat, namun tanpa dibarengi kumandang azan.
Atap masjid ini berbentuk segi empat, dengan ukuran yang tidak terlalu lebar, kurang lebih masing-masing sisinya 1 meter, karena ini adalah atap bagian paling atas dari model atap tumpang dua pada masjid ini. Menariknya, atap ini diberi motif warna-warnai cerah sebagaimana saka utama dan beberapa bagian masjid lainnya. Sedangkan bagian luar, atap ini menggunakan bahan ijuk di bagian atasnya, kayu sebagi penopangnya, dan atap sisanya menggunakan bahan asbes atau seng.
Bersama tetua adat
Pintu-pintu masjid untuk memasuki ruang utama menggunakan bahan kayu. Tiga pintu utama bagian tengah menggunakan bahan kayu, berdaun ganda, dan memiliki ukuran 170 x 100 cm. Jumlah pintu seluruhnya 10, dengan rincian 5 di dalam, dan 5 di luar. Jumlah jendela pada masjid ini seluruhnya berjumlah 13, dengan rincian 10 terdapat pada konstruksi bangunan batu, sedang 3 terdapat di bagian dalam ruang utama, dan terdapat pada dinding pagar pembatas ruang utama dan ruang pewastren. Selain ruang utama, masjid ini juga mempunyai ruang serambi bagian luar. Ruang ini menggunakan atap joglo yang terpisah dengan atap pada ruang utama masjid. Ruang ini memiliki delapan tiang berbahan kayu dengan ukuran yang kurang lebih sama dengan saka emper yang terdapat pada ruang utama.

Bagi masyarakat sekitar (muslim Aboge) masjid ini tidak hanya memiliki nilai sejarah penting masuknya Islam di Nusantara, namun menjadi identitas tersendiri bagi jati diri keislaman yang mereka yakini kebenarannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Facebook

https://www.facebook.com/mustofa.acep

Sample Text

Sample Text