Gerbang Masuk Masjid Saka Tunggal |
Masjid
ini berada di desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Lokasi
tempat berdirinya masjid bersejarah ini berjarak kurang lebih 30 km dari Kota
Purwokerto sehingga relatif mudah untuk dijangkau, meskipun posisinya agak
masuk ke dalam dan berada di dekat wilayah perbukitan dan di kelilingi
pepohonan yang cukup lebat.
Yang menarik dari masjid ini bukan saja status masjid yang dikukuhkan
sebagai benda cagar budaya yang memiliki nilai sejarah yang cukup penting,
namun juga karena keberadaan ratusan monyet yang meyambut setiap orang yang
datang ke lokasi ini. Monyet ini tersebar di sekeliling masjid, bertebaran di
halaman, bergelantungan di ranting-ranting pohon. Keberadaan monyet yang cukup
banyak ini menjadi daya tarik tersendiri bagi sejumlah orang untuk mengunjungi
lokasi masjid besejarah ini. Di bagian depan pintu gerbang, terdapat loket
retribusi untuk para pengunjung memasuki lokasi. Keberadaan makam keramat yang
berada tidak jauh dari masjid ini
menjadi daya tarik lain bagi masyarakat untuk melihat dan mengunjungi masjid ini.
menjadi daya tarik lain bagi masyarakat untuk melihat dan mengunjungi masjid ini.
Sejarah
dan Fungsi Masjid
Tampak depan samping |
Sama halnya dengan Masjid Nur Sulaiman, masjid Saka Tunggal ini juga
tercatat sebagai situs benda cagar budaya dengan Nomer 11-02/Bas/51/TB/04 yang
dilindungi secara hukum oleh Pemerintahan Kabupaten Banyumas. Masjid bersejarah
ini digunakan sehari-hari oleh masyarakat Islam yang dikenal dengan masyarakat
Islam Aboge; satu komunitas masyarakat Islam yang memiliki pemahaman dan
praktek yang sedikit berbeda dengan masyarakat Islam pada umumnya, di antaranya
dalam hal penetapan awal bulan Hijriah, termasuk penetapan awal Ramadan dan
awal Syawal, dan sejumlah pelaksanaan tata cara ibadah lainnya. Penamaan Masjid Saka Tunggal digunakan karena masjid ini hanya menggunakan
satu tiang utama (saka guru) di ruang utama, tepatnya di bagian tengah.
Sejumlah sumber
menyebutkan, bahwa masjid ini berdiri pada tahun 1288. Angka ini mengacu pada angka
yang tertulis di Saka Guru (tiang utama) masjid. Namun, tahun pembuatan masjid ini lebih
jelas tertulis pada kitab-kitab yang ditinggalkan pendiri masjid ini, yaitu
Kyai Mustolih. Namun kitab-kitab tersebut telah hilang bertahun-tahun yang lalu
. Karena itu, sejarah berdirinya masjid saka tunggal ini terkait erat dengan
tokoh penyebar Islam di Cikakak, Mbah Mustolih, yang menurut sebagian
keterangan hidup pada masa kesultanan Mataram Kuno. Tidak heran bila unsur
Kejawen melekat cukup kuat pada unsur masjid dan praktek keagamaan jamaahnya.
Dalam syiar Islam yang dilakukan, Mbah Mustolih memang menjadikan Cikakak
sebagai markas penyebaran Islam dengan ditandai pembangunan masjid dengan saka
tunggal tersebut.
Saka Tunggal |
Selain pelaksanaan jumat, masjid ini juga digunakan untuk
melaksanakan salat wajib lainnya. Namun, pelaksanaan jamaah yang terkordinir
pada salat-salat ini hanya dilakukan pada salat seperti magrib dan isya. Yang
cukup menarik, pelaksanaan jamaah di masjid ini bukan saja pada salat wajib,
tapi juga pada pelaksanaan salat qabliyah (sebelum) dan badiyah (sesudah) yang
mengiringi salat-salat tersebut. Demikian halnya dengan pelaksanaan salat
Jum’at. Salat jumat dilakukan dengan azan yang dikumandangkan oleh empat orang
sekaligus, tanpa menggunakan pengeras suara. Dan, seluruh rangkaian salat, mulai dari
tahiyatul masjid, salat jumat, bakdiah jumat, semuanya dilakukan secara
berjamaah.
Bangunan dan Arsitektur Masjid
Masjid ini memiliki beberapa ruang, yakni ruang utama
yang berbentuk bujur sangkar, ruang pengimaman, ruang mimbar, pewastren di sisi
sebelah kiri, serambi di bagian depan, tempat wudlu di muka masjid, dan
hamparan halaman yang sebagian dikelilingi jaro bambu. Pondasi yang digunakan
adalah pondasi massif. Bahan dinding luar masjid seluruhnya menggunakan batu
dengan pengait. Seluruh dinding bagian luar tanpa motif, polos, sementara
bagian dalam separuh ke bawah menggunakan keramik bermotif berwarna coklat. Pembatas
yang digunakan ruang utama dan pewastern, serta serambi bagian depan adalah
anyaman bambu bermotif yang diwarnai coklat. Anyaman bambu ini juga terdapat
pada atap di ruang utama dengan motif yang sama.
Motif pada Saka Tunggal |
Ruang utama masjid ini hanya memiliki satu saka guru di
bagian tengah dengan empat cagak pada bagian atas yang berfungsi menopang atap.
Saka guru inilah yang menjadi ikon dan penamaan masjid. Saka guru ini merupakan
tiang berukir berbentuk segi empat yang dipenuhi warna-warna cerah seperti merah,
putih, hijau, dan kuning, dengan motif flora. Warna dan motif ini memenuhi
seluruh tiang, dari bawah hingga pada bagian atas. Saka guru ini memiliki
ukuran yang berbeda antara bagian bawah dengan bagian atas. Bagian bawah yang
meninggi ke atas, sekitar 250 cm, memiliki ukuran diameter yang lebih besar
ketimbang separuh bagian atas sisanya. Bagian bawah tiang ini dilapisi kaca,
agar tidak cepat rusak jika sering disentuh. Pada bagian atasnya, terdapat
sayap yang terbujur ke empat arah penjuru mata angin. Tiang ini oleh masyarakat
setempat memiliki nilai yang sakral sehingga dirawat dengan cukup istimewa.
Pada salah satu sisi saka ini terdapat tulisan angka 1288 yang menurut sejumlah
sumber menunjukan angka tahun berdirinya masjid. Selain saka tunggal, pada ruang utama ini
terdapat 12 saka emper dengan ukuran diameter kurang lebih 12 cm. Bagian depan
dan sisi kiri digunakan untuk pembatas pewastren yang menggunakan bahan anyaman
bambu, sedang selebihnya nampak terlihat terbuka.
Ruang pengimaman berada persis di tengah dengan ukuran
yang relatif kecil, dan selalu dalam kondisi tertup hordeng (penutup kain), dan
hanya dibuka pada pelaksanaan salat, terutama pelaksanaan salat Jum’at. Pada
bagian atas pengimaman ini terdapat ukiran bermotif flora dengan warna-warna
cerah sebagaimana terdapat pada saka utama. Tepat di bagian atasnya terdapat
ukiran kaligrafi terbuat dari kayu dengan tulisan “Asyhadu alla ilaha illallahu
wa asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah”. Pada bagian atasnya lagi, masih dengan
bahan yang sama, terdapat kaligrafi ayat kursi, namun dengan bentuk ukiran yang
lebih kecil. Di sisi kananya juga terdapat ukiran kaligrafi dengan tulisan ayat
Al-Qur’an, tepatnya Surah as-Saff ayat 2-3, sementara di sebelah kirinya juga
terdapat tulisan kaligrafi dengan tulisan ayat Al-Qur’an, yakni Surah al-Kahf
ayat 103-104. Di sisi kiri dan kanan pengimaman terdapat dua figura yang
tergantung miring, dan konon memuat potongan bagian peninggalan kitab pendiri
masjid.
Tahun didirikannya masjid |
Mimbar di sebelah kanan pengimanan juga berada pada ruang
yang tertutup menggunakan hordeng (penutup kain) sebagaimana ruang pengimanan,
dan hanya dibuka pada saat tertentu, khususnya pada pelaksanaan salat jum’at.
Ruang untuk meletakan mimbar ini ukurannya kurang lebih sama dengan ruang
pengimaman, karena mimbar ini juga berukuran relatif kecil. Selain ditutupi
kain, bagian muka mimbar pun ditutupi kain putih dengan motif warna warni,
sehingga bagian-bagian dalamnya tidak terlihat. Mimbar ini sendiri terbuat dari
kayu, yang pada sisi-sisinya menampilkan lukisan-lukisan motif flora
sebagaimana terdapat di saka utama, terutama pada bagian atas mimbar, dan di
tengahnya terdapat tulisan ‘La ilaha illallah”. Di sebelah kanan terdapat
sebilah tongkat berwarna kecoklatan, sebagai pelengkap mimbar.
Di dalam masjid ini juga terdapat bedug dengan kentongan
dan tempat meletakan kentongan. Berbeda dengan bedug pada umumnya yang
diletakan agak naik (tinggi), sehingga perlu berdiri untuk memukulnya, bedug pada
masjid ini diletakkan menggantung dengan posisi yang pendek, sehingga untuk
memukulknya tidak perlu berdiri, hanya cukup duduk. Bedug ini dipukul dalam
setiap pelakanaan salat, namun tanpa dibarengi kumandang azan.
Atap masjid ini berbentuk segi empat, dengan ukuran yang
tidak terlalu lebar, kurang lebih masing-masing sisinya 1 meter, karena ini
adalah atap bagian paling atas dari model atap tumpang dua pada masjid ini. Menariknya,
atap ini diberi motif warna-warnai cerah sebagaimana saka utama dan beberapa
bagian masjid lainnya. Sedangkan bagian luar, atap ini menggunakan bahan ijuk
di bagian atasnya, kayu sebagi penopangnya, dan atap sisanya menggunakan bahan
asbes atau seng.
Bersama tetua adat |
Pintu-pintu masjid untuk memasuki ruang utama menggunakan
bahan kayu. Tiga pintu utama bagian tengah menggunakan bahan kayu, berdaun
ganda, dan memiliki ukuran 170 x 100 cm. Jumlah pintu seluruhnya 10,
dengan rincian 5 di dalam, dan 5 di luar. Jumlah jendela pada masjid ini
seluruhnya berjumlah 13, dengan rincian 10 terdapat pada konstruksi bangunan
batu, sedang 3 terdapat di bagian dalam ruang utama, dan terdapat pada dinding
pagar pembatas ruang utama dan ruang pewastren. Selain ruang utama, masjid ini
juga mempunyai ruang serambi bagian luar. Ruang ini menggunakan atap joglo yang
terpisah dengan atap pada ruang utama masjid. Ruang ini memiliki delapan tiang
berbahan kayu dengan ukuran yang kurang lebih sama dengan saka emper yang
terdapat pada ruang utama.
Bagi masyarakat sekitar (muslim Aboge) masjid ini tidak hanya memiliki
nilai sejarah penting masuknya Islam di Nusantara, namun menjadi identitas
tersendiri bagi jati diri keislaman yang mereka yakini kebenarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar