Social Icons

Featured Posts

Jumat, 31 Januari 2020

Kampung Durian, Sukadanaham, Lampung


Setelah puas bermain air di pantai Mutun, kami pun segera meluncur ke wilayah Sukadanaham. Menurut berbagai sumber, Sukadanaham adalah wilayah yang banyak menjual buah durian, khususnya di musim panen Durian, yakni Januari dan Februari. Dan untuk menendai bahwa kampong ini memang banyak terdapat pohon durian dan penejualnya, di salah satu pertigaan jalannya terdapat tugu durian. Kalau kita sudah sampai pada tugu ini, maka sepanjang jalan, akan banyak dijumpai para penjual durian, baik yang menggunakan lapak, maupun yang hanya menjual beberapa buah saja. Diantara mereka ada anak kecil yang menjual 4 buah saja, 5 atau enam.

Benar saja, ketika melewati jalan ini, banyak sekali penjual durian. Tapi memang durian di sini tidak murni dari Lampung, sebagain berasal dari wilayah lain, seperti Jambi, Palembang, Medan dan lain-lain. Maka, mampirlah kita di salah satu penjual durian yang kebetulan tidak jauh dari tugu durian Sukadanaham. Durian pertama, rasanya oke, dan mantap. Tapi ada juga yang rasanya hambar, dan karena hambar kita minta diganti dengan yang manis.. kebetulan kita barenag dengan babeh, yang cukup lihai memilih dan memilah durian yang enak, secara kita dulu juga punya pohon durian, jadi lumayan tau durian yang matang dan tidak..
Soal harga, tergantung bagaimana kita menawar. Harganya bervariasi, mulai dari 20 ribu hingga 60 ribu. Dan soal rasa, kita bisa pilih. Jika makan di tempat, maka kita bisa minta ganti jika yang kita makan tidak enak, alias hambar. Tadinya mau membeli beberapa untuk dibawa pulang, tapi karena harus cermat memilih dan makan waktu cukup lama, akhirnya kami hanya membeli beberapa saja, dan sisanya untuk oleh-oleh kami beli makanan kering di daerah Bandar Lampung tepatnya di Toko Aneka Sari Rasa, Lampung, sambal pulang menuju pelabuhan Bakaheuni untuk lanjut terus ke Jakarta.

Pantai Mutun, Lampung



 Sabtu, 25 Januari, aku dan keluarga, istri bersama anak, Nabiha, Azzamy dan Nahwa, Arju (keponakan) dan enyak babeh, pergi menyebrangi Selat Sunda menunju Lampung. Salah satu tujuannya adalah Pantai Mutun. Menggunakan kendaraan pribadi, aku dan keluarga berangkat menggunakan kapal executive dengan tariff 570 ribu, dan sampai dai Pelabuhan Bakaheuni sekitar pukul 8.00. menyusuri tol yang lengang, dengan perjalanan kurang lebih satu jam setengah, sampailah kami di Pantai Mutun.




Pantai ini berlokasi di wilayah Sukajaya Lempasing, Padang Cermin, Pesawaran. Pantai ini mudah dijangkau karena tidak jauh dari Kota Bandar Lampung. Sesekali di perjalanan garis pantai terlihat indah sehingga membuat perjalanan menyenangkan.
Sebeleum mencapai area pantai, di kiri kanan jalan terkadang terdapat penjual durian (karena memang lagi pas musim durian), petai dan manggis. Sepanjang garis pantai sebelum pantai Mutun terdapat pantai lain yang bisa dikunjungi dan menjadi bahan wisata. Pastinya tidak kalah menarik.


Sesampai di Pantai Mutun, kami membayar tiket masuk sebesar 10000. Relative murah. Infonya, pantai ini buka 24 jam, jadi kita bisa dating kapan saja ke pantai ini. Di pantai ini terdapat fasilitas yang memudahkan kita untuk beraktivitas di pantai, ada kamar mandi bilas (2000) dan penyewaan gajebo (100000) dan sejumlah pedagang.

Di pantai ini kita bisa bermain pasir putih, berenang di pinggir pantai, menyewa kano untuk menyusuri pantai, ada juga banana boat bagi yang suka dan banyak aktivitas lainnya. Karena kita dating hari Sabtu, maka lokasinya lagi cukup ramai. Dari pantai ini, kita juga bisa menyeberang ke Pulau Tangkil, yang tidak jauh dari pantai karena memang terlihat jelas. Di sana tentu pemandangan dan pantainya lebih eksotis lagi.


Selesai bermain pasir besama Zami, dan berenang di pinggir pantai bareng Nabiha, Nahwa dan Arju, kami pun menyusuri area berikutnya, Sukadanaham, Kampung Durian di daerah Lampung yang memang banyak menjual durian Lampung.

Senin, 22 Juli 2019

Menelusuri Jejak Kesultanan Menanga, Solor, Flores Timur



Perjalanan ini kami mulai dari Jakarta subuh dini hari karena pesawat Batik Air yang akan kami naiki bertolak pukul 8.40. WIB. Tiba di Kupang jam 12 WIT lebih. Kami bertiga, Saya, Hakim dan Bu Nani. Hakim dan Bu Nani bertolak Ke Alor, tapi karena mengerjakan beberapa tugas di Kupang, mereka baru ke Alor hari Sabtu. Sementara saya pukul 14. WIT harus melanjutkan penerbangan dengan Wings Air ke Larantuka, Flores Timur. Beruntung pesawat tidak delay, sehingga semuanya tepat waktu dan sesuai rencana, Alhamdulillah... Setelah penerbangan sekitar satu jam, sampailah saya di Larantuka. Semula, saya berencana menginap dulu semalam di Larantuka, dan baru akan ke Solor Jum’at pagi. Namun karena kapal ke Solor tidak ada pagi hari karena kapalnya rusak, maka saya disarankan oleh penjemput untuk langsung menyebrang ke Adonara menggunakan perahu. Menyebranglah saya menggunakan perahu ke Pulau Adonara, dengan tarif 5 ribu, murah meriah, karena memang jaraknya dekat, hanya 7-10 menit penyebrangan.


Sampai di Adonara, saya sudah ditunggu pak Hafidz dan pak Kholil, dan diantar langsung menggunakan sepeda motor ke tepian untuk menyebrang langsung ke pulau Solor dengan perahu selama kurang lebih satu jam. Maghrib saya sampai di Masjid Al-Fatih (sebelumnya Al-Huda), lokasi Kesultanan Menanga. Malam itu kami menginap di rumah tokoh agama di Lamakera, Pak Abidin, karena memang tidak ada penginapan di sini. Sesampai di rumahnya, pas ada acara nikahan, maka pas lah semua,jadi bisa makan-makan... hi hi hi. Paginya saya baru menjelajah satu persatu jejak Islam di  tanah Menanga dan Lamakera...

Masjid Al-Ijtihad, Lamakera
Subuh kami shalat di Masjid Al-Ijtihad, Lamakera. Seusai subuh itu kami berbincang, dan mulailah para tetua masjid bercerita,... Masjid ini didirikan oleh Raja Lamakera, Ibrahim Dasi pada tahun 1967. Ibrahim Dasi merupakan Raja Lamakera yang juga mengganti nama masjid Al-Fatih, Menanga menjadi Al-Huda. Sebagai penguasa pada saat itu, peran Raja Ibrahim cukup signifikan terkait dengan keberadaan masjid di Solor Timur, khususnya masjid Al-Fatih Menanga dengan Masjid Al-Ijtihad, Lamakera. Sama dengan masjid Al-Fatih, Menanga, masjid ini tidak memiliki kesan sebagai masjid tua bersejarah karena seluruh bangunannya sudah menggunakan pola dan bentuk modern, termasuk bahan dan konstruksinya. Namun, masjid ini sesungguhnya memiliki sejarah panjang, karena rumah ibadah umat Islam ini sebelumnya sudah ada di tempat yang lama, di tempat yang lebih tinggi dengan bentuknya yang sederhana.


Di tempat yang lama, Masjid lama ini oleh masyarakat dinamakan masjid kiblatain, karena konon selama beberapa waktu pernah mengarahkan shalatnya ke arah selatan, dan setelah perkembangan Islam, arah kiblatnya dirubah mengarah ke barat, kiblat yang sesungguhnya. Meski sudah mengggunakan gaya dan konstruksi modern, tapi beberapa arsitektur masjid ini memiliki makna dan filosofi, diantaranya gerbang masjid Al-Ijtihad yang berjumlah tujuh buah dimaksudkan mewakili suku yang ada di sekitar masjid, yakni suku Lamakera, Kiko Onang, Lewoklodo, Lawerang, Hari Onang, Ema Onang, dan Kuku Onang. Penamaan masing-masing suku ini untuk menandai bahwa masjid ini dibangun atas kesepakatan bersama. Selanjutnya, menara besar bagian depan (dahulunya kecil) dibangun sebagai simbol kebersamaan masyarakat di Lamakera.
Masjid ini sendiri berlokasi Pulau Solor, Desa Watu Buku, Kecamatan Solor Timur, Flores Timur NTT. Di sekitar masjid, kurang lebih berjarak 200-300 meter, terdapat sejumlah situs peninggalan bersejarah, yakni Masjid lama kiblaitain (berjarak kurang lebih 200 M dari masjid Al-Ijtihad), makam Imam pertama, Dasy bin Ke’neng, Benteng dan meriam Portugis.

Masjid Al-Fatih (Al-Huda), Menanga
Menjelang siang, kami melanjutkan perjalanan ke masjid Al-Fatih. Masjid ini, seperti dituturkan sejumlah narasumber dan tulisan, didirikan oleh Sultan Syahabuddin bin Ali bin Salman Al-Farisi,  yang dikenal dengan Sultan Menanga yang masuk ke daerah Menanga dan berhasil memimpin Solor Watan Lema (negeri lima pantai) yang terdiri dari Kerajaan Lahayong, Kerajaan Lamakera, Kerajaan Lamahala, Kerajaan Labala, dan Kerajaan Terong antara tahun 1613-1645. Pada mulanya masjid ini terletak di Kampung Menanga Lama dengan bentuk panggung berbahan kayu, dan kemudian dipindahkan ke area yang lebih luas atas inisiatif Abah Ibrahim Dasi pada tahun 1968 dengan alasan jamaah yang semakin banyak. Renovasi dengan bentuknya saat ini dilakukan pada tahun 1992. Lokasinya berada di Desa Menanga, Kecamatan Solor Timur, Nusa Tenggara Barat.


Pada mulanya masjid ini berbentuk panggung berbahan kayu beratap daun lontar dengan ukuran kurang lebih 8 X 8 Meter. Semula masjid ini dinamakan Masjid Al-Fatih yang disesuaikan dengan nama pembawa Islam pertama ke tanah Solor, Imam Fatiduri Al-Fatih. Ketika terjadi pertikaian antara Lahayong dan Lamakera hingga masjid ini juga menjadi sasaran perang, maka pada tahun itu (1957) oleh Raja Ibrahim Dasi masjid al-Fatih dinamakan al-Huda, dengan maksud sebagai sebuah petunjuk bahwa sesama Islam harus bersatu dan tidak boleh saling bertikai satu sama lain. Saat sudah tidak ada lagi konflik sekian lama, tahun 2018 masjid ini kembali diberi nama Al-Fatih sesuai dengan nama semula.
Sama dengan masjid Al-Ijtihad yang sudah menggunakan gaya modern, demikian juga masjid Al-Fatih. Namun, masjid ini memiliki makna  filosofis pada sejumlah arsitekturnya. Tiang masjid yang berjumlah empat buah secara  hukum adat mewakili empat suku yang ada, masing-masing tiang mewakili unsur tertentu pada masyarakat. Tiang depan bagian kanan adalah Imam, depan bagian kiri muadzin, belakang kanan khatib, belakang kiri raja (yang menangani tata kelola di masyarakat). Kemudian, mihrab dengan bentuk kubah berjumlah tiga dimaksudkan mewakili unsur Islam, Iman dan ihsan, dan juga mewakili Nabi Muhammad (untuk bagian tengah) serta Abu Bakar (bagian kanan) dan Umar (bagian kiri).
Selain itu, di sekitar masjid terdapat situs penting yang menandai jejak peninggalan kesultanan Islam Menanga pada masa lalu. Diantara situs peninggalan ini adalah, sisa benteng Kesultanan Menanga, Makam Syekh Imam Patiduri Al-Fatih (Pembawa Islam dari Hadramaut abad ke 13), Makam Shahbudin bin Ali bin Salman Al-Farisi (Sultan pertama Menanga), Makam Nyai Sili Pertiwi (Sultan Kedua Menanga, Istri sultan Shahbudin)


Setelah semuanya selesai, saya diajak ke Adonara, disana kami  melepas lelah di pasir Putih Mekko, sebuah pulau kecil yang sangat eksotik, sambil menunggu senja menjemput malam. Bakar ikan dan kelapa muda menjadi pentup perjalanan kami... semua sangat mengesankan. Spesial thanks buat Pak Kholil Adonara, dan pak Hafidz, Larantuka.



Kupang, 22 Juli 2019 


 

Facebook

https://www.facebook.com/mustofa.acep

Sample Text

Sample Text