Social Icons

Senin, 03 September 2012

Journey to Sabang


Sabang. Nama ini semula hanya aku kenal dari potongan judul lagu yang cukup populer ketika duduk di bangku Sekolah Dasar; “dari Sabang sampai Merauke”. Siapapun yang pernah “makan” bangku Sekolah Dasar, pasti mengenal lagu ini, karena lagu ini cukup sering dinyanyikan di ruang-ruang sekolah dasar, dan bisa memupuk semangat Nasionalisme kita. Dan atas berkat rahmat Allah (niru UUD...) akhirnya aku bisa juga menjejakan kaki di pulau Indonesia terujung ini. Sensasional! Bersama dengan rekan peneliti, aku mencoba menjelajah Sabang. Sabang sendiri terdiri dari Pulau Weh (Yang paling besar) kemudian terdapat pulau-pulau kecil lainnya, seperti Pulau Klah, Rondo, Rubiah, dan Seulako.


Pulau ini mudah dijangkau. Dari Pelabuhan  Ule Lheu di Kota Banda Aceh, bersama rekan aku menaiki kapal penumpang boat dengan tarif ekonomi sekitar Rp. 60.000 dengan waktu tempuh sekitar 45 menit. (Tips perjalanan:  untuk menuju pelabuhan Ule Lhe dari pusat Kota Banda Aceh, kita bisa menggunakan jasa Bentor dengan tarif 15 sampai 20 ribu, (tergantung nego..) kemudian pemesanan tiket kapal boat bisa dilakukan setengah jam sebelum pemberangkatan; jam 09.00 atau lebih kami naik kapal di kelas ekonomi, dan 45 menit kemudian sampailah di pelabuhan Pulau Weh. Sesampainya di Pelabuhan Pulau Weh, aku dan teman mengambil sepeda motor yang sudah kami pesan sebelumnya waktu di pelabuhan Ule Lheu. Dengan tarif 70 ribu (untuk penyewaan sehari) kami bisa keliling menggunakan sepeda motor matic, sehingga lebih leluasa menggunakan waktu, karena kami (ini satangnya...) hanya memiliki waktu satu hari saja, atau sampai sore untuk menjelajah pulau ini. It’s oke...
 

Kuda besi inilah yang menemani kami menjelajahi Kota Sabang. Perjalanan serasa sangat menyenangkan karena jalannya yang bagus, berkelok-kelok, sementara di sisi kiri dan kanan terdapat pohon yang rindang, dan terkadang tersaji pemandangan laut dan panorama  pantainya yang indah dan amazing! (kata Tukul). Target pertama jelalah kami adalah tugu kilometer nol. Tugu ini berada di pulau bagian ujung, dan untuk mencapai lokasi ini kami harus melalui jalan yang berkelok, menaik, dan membelah hutan. Di sisi kiri dan kanan kami sering berjumpa dengan sekawanan monyet yang bermain di jalan, bahkan sampai ke lokasi tugu. Sampailah kami di Tugu Kilometer Nol. Sayang tugu monumen ini kurang terawat, sehingga terkesan kotor. Tapi jangan khawatir karena sampai ke lokasi ini merupakan pengalaman yang menarik, dan juga karena pemdangan sekitarnya menawarkan pesona yang sulit dilupakan. Puas jeprat jepret, kami kembali menaiki kuda besi, dan meelwati pantai Iboih. Sebuah pantai yang menawarkan banyak lokasi untuk spot snrokling, baik di pantai ini sendiri, maupun di seberang (tidak jauh) di pulau Rubiah. Untuk menghilangkan penasaran aku mencoba snrokling, ya, di pantai ini saja, karena pantai ini sangat indah, airnya biru, dan juga terdapat lokasi snrokling. Menyewa peralatan 30 ribu, dan jasa pendamping, ya, katanya untuk sekedar beli roko. Mantap! Terumbu karang dan ikan-ikan yang betebaran di sekitarnya sungguh memikat. Huuuuuuh... Tapi sayang,
waktu kami sangat singkat, sehingga terpaksa harus mengkahiri petualangan sampai di sini. Kami bersiap pulang, dan sampai di pelabuhan pulau Weh menjelang jam 4 sore karena kapal akan berangkat jam 4.00. Tapi sebelum menaiki kapal, kami menyempatkan membeli kue kacang hijau khas kota Sabang...sayonara, dan kami pun pulang, seraya berharap bisa kembali menampi kaki di bumi indah ini. Mustofe
 

Facebook

https://www.facebook.com/mustofa.acep

Sample Text

Sample Text