Perjalanan ini kami mulai dari Jakarta subuh dini hari karena
pesawat Batik Air yang akan kami naiki bertolak pukul 8.40. WIB. Tiba di Kupang
jam 12 WIT lebih. Kami bertiga, Saya, Hakim dan Bu Nani. Hakim dan Bu Nani
bertolak Ke Alor, tapi karena mengerjakan beberapa tugas di Kupang, mereka baru
ke Alor hari Sabtu. Sementara saya pukul 14. WIT harus melanjutkan penerbangan
dengan Wings Air ke Larantuka, Flores Timur. Beruntung pesawat tidak delay, sehingga
semuanya tepat waktu dan sesuai rencana, Alhamdulillah... Setelah penerbangan
sekitar satu jam, sampailah saya di Larantuka. Semula, saya berencana menginap
dulu semalam di Larantuka, dan baru akan ke Solor Jum’at pagi. Namun karena
kapal ke Solor tidak ada pagi hari karena kapalnya rusak, maka saya disarankan
oleh penjemput untuk langsung menyebrang ke Adonara menggunakan perahu.
Menyebranglah saya menggunakan perahu ke Pulau Adonara, dengan tarif 5 ribu,
murah meriah, karena memang jaraknya dekat, hanya 7-10 menit penyebrangan.

Sampai di Adonara, saya sudah ditunggu pak Hafidz dan pak
Kholil, dan diantar langsung menggunakan sepeda motor ke tepian untuk
menyebrang langsung ke pulau Solor dengan perahu selama kurang lebih satu jam.
Maghrib saya sampai di Masjid Al-Fatih (sebelumnya Al-Huda), lokasi Kesultanan
Menanga. Malam itu kami menginap di rumah tokoh agama di Lamakera, Pak Abidin,
karena memang tidak ada penginapan di sini. Sesampai di rumahnya, pas ada acara
nikahan, maka pas lah semua,jadi bisa makan-makan... hi hi hi. Paginya saya
baru menjelajah satu persatu jejak Islam di
tanah Menanga dan Lamakera...
Masjid Al-Ijtihad, Lamakera
Subuh kami shalat di Masjid Al-Ijtihad, Lamakera. Seusai
subuh itu kami berbincang, dan mulailah para tetua masjid bercerita,... Masjid
ini didirikan oleh Raja Lamakera, Ibrahim Dasi pada tahun 1967. Ibrahim Dasi
merupakan Raja Lamakera yang juga mengganti nama masjid Al-Fatih, Menanga
menjadi Al-Huda. Sebagai penguasa pada saat itu, peran Raja Ibrahim cukup
signifikan terkait dengan keberadaan masjid di Solor Timur, khususnya masjid
Al-Fatih Menanga dengan Masjid Al-Ijtihad, Lamakera. Sama dengan masjid
Al-Fatih, Menanga, masjid ini tidak memiliki kesan sebagai masjid tua
bersejarah karena seluruh bangunannya sudah menggunakan pola dan bentuk modern,
termasuk bahan dan konstruksinya. Namun, masjid ini sesungguhnya memiliki
sejarah panjang, karena rumah ibadah umat Islam ini sebelumnya sudah ada di
tempat yang lama, di tempat yang lebih tinggi dengan bentuknya yang sederhana.

Di tempat yang lama, Masjid lama ini oleh masyarakat
dinamakan masjid kiblatain, karena konon selama beberapa waktu pernah
mengarahkan shalatnya ke arah selatan, dan setelah perkembangan Islam, arah
kiblatnya dirubah mengarah ke barat, kiblat yang sesungguhnya. Meski sudah
mengggunakan gaya dan konstruksi modern, tapi beberapa arsitektur masjid ini
memiliki makna dan filosofi, diantaranya gerbang masjid Al-Ijtihad yang berjumlah
tujuh buah dimaksudkan mewakili suku yang ada di sekitar masjid, yakni suku
Lamakera, Kiko Onang, Lewoklodo, Lawerang, Hari Onang, Ema Onang, dan Kuku
Onang. Penamaan masing-masing suku ini untuk menandai bahwa masjid ini dibangun
atas kesepakatan bersama. Selanjutnya, menara besar bagian depan (dahulunya
kecil) dibangun sebagai simbol kebersamaan masyarakat di Lamakera.
Masjid ini sendiri berlokasi Pulau
Solor, Desa Watu Buku, Kecamatan Solor Timur, Flores Timur NTT. Di sekitar
masjid, kurang lebih berjarak 200-300 meter, terdapat sejumlah situs
peninggalan bersejarah, yakni Masjid lama kiblaitain (berjarak kurang lebih 200
M dari masjid Al-Ijtihad), makam Imam pertama, Dasy bin Ke’neng, Benteng dan
meriam Portugis.
Masjid Al-Fatih (Al-Huda), Menanga
Menjelang siang, kami melanjutkan perjalanan ke masjid
Al-Fatih. Masjid ini, seperti dituturkan sejumlah narasumber dan tulisan,
didirikan oleh Sultan Syahabuddin bin Ali bin Salman Al-Farisi, yang dikenal dengan Sultan Menanga yang masuk
ke daerah Menanga dan berhasil memimpin Solor Watan Lema (negeri lima pantai)
yang terdiri dari Kerajaan Lahayong, Kerajaan Lamakera, Kerajaan Lamahala,
Kerajaan Labala, dan Kerajaan Terong antara tahun 1613-1645. Pada mulanya
masjid ini terletak di Kampung Menanga Lama dengan bentuk panggung berbahan
kayu, dan kemudian dipindahkan ke area yang lebih luas atas inisiatif Abah
Ibrahim Dasi pada tahun 1968 dengan alasan jamaah yang semakin banyak. Renovasi
dengan bentuknya saat ini dilakukan pada tahun 1992. Lokasinya berada di Desa
Menanga, Kecamatan Solor Timur, Nusa Tenggara Barat.

Pada mulanya masjid ini berbentuk panggung berbahan kayu
beratap daun lontar dengan ukuran kurang lebih 8 X 8 Meter. Semula masjid ini
dinamakan Masjid Al-Fatih yang disesuaikan dengan nama pembawa Islam pertama ke
tanah Solor, Imam Fatiduri Al-Fatih. Ketika terjadi pertikaian antara Lahayong
dan Lamakera hingga masjid ini juga menjadi sasaran perang, maka pada tahun itu
(1957) oleh Raja Ibrahim Dasi masjid al-Fatih dinamakan al-Huda, dengan maksud
sebagai sebuah petunjuk bahwa sesama Islam harus bersatu dan tidak boleh saling
bertikai satu sama lain. Saat sudah tidak ada lagi konflik sekian lama, tahun
2018 masjid ini kembali diberi nama Al-Fatih sesuai dengan nama semula.
Sama dengan masjid Al-Ijtihad yang sudah menggunakan
gaya modern, demikian juga masjid Al-Fatih. Namun, masjid ini memiliki
makna filosofis pada sejumlah
arsitekturnya. Tiang masjid yang berjumlah empat buah secara hukum adat mewakili empat suku yang ada, masing-masing
tiang mewakili unsur tertentu pada masyarakat. Tiang depan bagian kanan adalah
Imam, depan bagian kiri muadzin, belakang kanan khatib, belakang kiri raja
(yang menangani tata kelola di masyarakat). Kemudian, mihrab dengan bentuk
kubah berjumlah tiga dimaksudkan mewakili unsur Islam, Iman dan ihsan, dan juga
mewakili Nabi Muhammad (untuk bagian tengah) serta Abu Bakar (bagian kanan) dan
Umar (bagian kiri).
Selain itu, di sekitar masjid terdapat situs penting yang
menandai jejak peninggalan kesultanan Islam Menanga pada masa lalu. Diantara situs
peninggalan ini adalah, sisa benteng Kesultanan Menanga, Makam Syekh Imam
Patiduri Al-Fatih (Pembawa Islam dari Hadramaut abad ke 13), Makam Shahbudin
bin Ali bin Salman Al-Farisi (Sultan pertama Menanga), Makam Nyai Sili Pertiwi
(Sultan Kedua Menanga, Istri sultan Shahbudin)
Setelah semuanya selesai, saya diajak ke Adonara, disana
kami melepas lelah di pasir Putih Mekko,
sebuah pulau kecil yang sangat eksotik, sambil menunggu senja menjemput malam. Bakar
ikan dan kelapa muda menjadi pentup perjalanan kami... semua sangat
mengesankan. Spesial thanks buat Pak Kholil Adonara, dan pak Hafidz, Larantuka.
Kupang, 22 Juli 2019